#SeriKehamilan
InsyaAllah kali ini, saya ingin menulis pengalaman kehidupan lagi. Semoga bisa menjadi manfaat bagi pembaca sekalian.
Topik yang saat ini ingin saya angkat adalah kehidupan di Jepang diluar cerita kuliah saya (meskipun nanti juga sedikit-sedikit diceritakan), yaitu perjalanan kehidupan seorang calon ibu.
*****
Tidak pernah terbersit di benak saya sebelumnya, bahwa saya sudah berstatus ‘menikah’ saat kuliah program Master di Jepang. Apalagi status yang lebih dari itu, ‘ibu’. Kira-kira hanya dua bulan, masa ketika suami dulu mulai mengutarakan niat serius untuk menjadikan saya sebagai istrinya dengan jadwal keberangkatan saya ke Jepang pada akhir bulan September 2013. Dengan izin Allah Yang Maha Merencanakan, hari akad nikah sekaligus walimah kami tepat dengan hari wisuda S2 suami saya serta tiga hari sebelum keberangkatan saya ke Jepang. Hanya dalam waktu satu minggu, kami dan keluarga kami merencanakan pernikahan kami. Dikarenakan kontrak kerja dengan sebuah institusi perguruan tinggi di kota tempat tinggal saya, saya dan suami bertemu kembali di Jepang setelah enam bulan berpisah.
Ini cerita tentang ‘suami ikut istri’ dengan makna yang berbeda. Karena suami saya juga berkeinginan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi bahkan sebelum bertemu saya. Subhanallah, Allah Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu menggariskan hal yang demikian kepada kami.
Kuliah tahun pertama dan mengandung (hamil). Tepatnya bulan April kami mengetahui berita gembira itu, kami insyaAllah pasrah dan tawakal saja dengan rencana Allah terhadap rumah tangga kami, dan pada saat itu adalah kuliah dan hamil. Trimester pertama ini kami jalani dengan waktu yang cukup luang karena suami belum memulai studi doktornya. Studi yang universitasnya sama dengan saya, kampus yang sama, bahkan gedung yang sama dengan saya.
Mencari rumah sakit
Urusan-urusan bertambah, ini yang jelas berubah dari keseharian kami. Bertambah dengan urusan mencari rumah sakit, memeriksakan kandungan dan mendaftarkan kehamilan saya ke shiyakusho (kantor pemerintah kota).
Kami muslim, sehingga tentu saja kami ingin mencari rumah sakit yang dapat memberikan fasilitas yang sesuai dengan praktek agama kami. Misalnya menerima saya yang memakai tudung kepala (khimar) dan memahami kebutuhan menu makanan saya (makanan halal).
Sebelum memutuskan rumah sakit mana yang kami pilih, saya utamanya mencari informasi dari senpai-tachi (para senior) yang sudah berpengalaman dengan hamil dan/atau melahirkan di Jepang. Alhamdulillah, bantuan Allah tidak lepas dari kami. Beberapa kenalan saya, dari kajian islam akhwat di universitas saya, pernah mengalami hamil dan/atau melahirkan di Jepang. Dari senpai-tachi inilah saya mendapat informasi sebuah rumah sakit langganan yang Muslim-friendly. Namun, rumah sakit tersebut berbeda kota (municipality) dengan kota tempat tinggal kami. Dari awal, saya ragu untuk memilih rumah sakit tersebut.
Dari salah satu senpai-tachi tersebut, disebutlah seorang mantan penghuni apato (baca: rumah kontrakan) kami, dua generasi sebelum kami (jadi ceritanya saya adalah generasi ketiga orang Indonesia yang tinggal di apato tersebut). Ternyata senpai ini pernah hamil dan melahirkan di Jepang, namun memilih rumah sakit yang berbeda kota tersebut. Kemudian saya aktif melakukan kontak dengan senpai satu ini. Meskipun senpai ini beraktifitas menjadi dosen di sebuah perguruan tinggi di Indonesia, namun responnya cepat. Meskipun sudah mengumpulkan informasi dari senpai ini, lagi-lagi saya ragu dengan urusan administrasi tambahan karena perbedaan kota ini, menyangkut waktu, kemampuan fisik saya (rumah sakitnya agak jauh dari tempat saya tinggal), keterbatasan kemampuan bahasa Jepang saya (saya cuma lulusan N5), dll.
Pada akhirnya, saya masih ingin mengusahakan solusi lain untuk rumah sakit yang berbeda. Berbekal kemampuan komputer (sepertinya ini agak berlebihan, karena semakin banyak orang yang mampu), saya browsing sampai menemukan website perawat dan daftar rumah sakit dalam bahasa Jepang (tentu saja dengan tulisan Jepang; kanji, hiragana, dan katakana). Saya hanya mencari rumah sakit di kota saya, supaya tidak terbentur kesulitan adminstrasi tambahan. Dari ratusan testimoni orang Jepang (saya ingatkan bahwa website-nya dalam bahasa Jepang), kami memutuskan untuk mencoba rumah sakit satu ini, Aiiku hospital di daerah minamirinkan.
Mendaftarkan kehamilan ke pemerintah kota
Flashback sebentar ke belakang, pertama-tama, saya mendapatkan informasi dari senpai-tachi bahwa kita perlu mendaftarkan kehamilan kita ke shiyakusho. Ada yang memberikan informasi supaya datang ke shiyakusho sebelum ke dokter, ada juga yang menyarankan supaya datang ke shiyakusho setelah dari dokter. Maka dari itu, saya mampir ke shiyakusho area tempat saya tinggal sebelum ke dokter. Untuk masalah kesejahteraan (hamil, melahirkan, dan tentang anak-anak termasuk bidang kesejahteraan di kota tersebut), saya langsung dialihkan ke gedung lain tidak jauh dari shiyakusho, yaitu hokenfukushi center, bagian yang menangani bidang kesejahteraan masyarakat.
Sesampainya di hokenfukushi center, kami mendapat keterangan bahwa untuk melakukan pendaftaran kehamilan, dibutuhkan keterangan dari dokter yang menyatakan kehamilan, bisa dokter klinik atau dokter rumah sakit.
Sebelumnya, saya berpikir mencari klinik saja, bukan rumah sakit, untuk melakukan pemeriksaan kehamilan rutin sekaligus mendapat keterangan dokter bahwa saya hamil sebagai syarat pengajuan pendaftaran kehamilan. Namun dari salah satu staf di hokenfukushi center, saya mendapat buku yang memuat peta dan informasi klinik dan rumah sakit di kota ini. Sehingga saya juga ingin mempertimbangkan keduanya, klinik dan rumah sakit. Jadi pada akhirnya, sebenarnya tetap bermanfaat datang ke shiyakusho sebelum ke dokter.
Dari daftar yang didapat dari staf kota, saya menemukan beberapa klinik kewanitaan (biasa dinamakan ladies clinic) dan rumah sakit. Pada awalnya, saya menghubungi lewat telepon satu per satu klinik yang ada dalam daftar buku dari staf kota (mohon diingat saya cuma lulusan N5) dengan pertimbangan klinik yang jaraknya tidak jauh dari apato kami, dokternya perempuan dan kemampuan bahasa inggris si dokter. Beberapa kali saya temukan klinik dengan dokter yang mampu berbahasa inggris, namun dokternya laki-laki. Kemudian ternyata tidak sedikit klinik yang hanya menawarkan jasa pemeriksaan kehamilan rutin, namun tidak sampai untuk melahirkan. Ini artinya klinik tidak mempunyai fasilitas rawat inap untuk melahirkan. Tidak seperti rumah sakit yang selalu mempunyai fasilitas rawat inap.
Setelah percobaan pencarian klinik yang belum membuahkan hasil, saya langsung mencoba dengan rumah sakit juga. Kemudian saya mencari informasi juga melalui internet dan menemukan sebuah rumah sakit dengan testimoni pasien yang cukup bagus. Akhirnya kami memutuskan untuk menghubungi rumah sakit tersebut, Aiiku hospital di daerah minamirinkan, yang ternyata memenuhi 3 kriteria kami.
Appointment pertama
Berawal lewat telepon, staf rumah sakit tersebut menyarankan untuk mendatangi langsung rumah sakit. Sedikit intermezzo, kami sempat salah tempat dengan Aiiku ladies clinic. Ternyata, pada lokasi yang berdekatan, ada Aiiku hospital (rumah sakit), Aiiku ladies clinic (klinik kewanitaan), dan Aiiku kodomo clinic (klinik anak).
Kunjungan pertama kami belum sampai pemeriksaan namun hanya mendaftar menjadi anggota dan membuat appointment dengan salah satu dokter perempuan yang bisa berbahasa Inggris, Inoue sensei. Semua saya lakukan dengan bahasa Jepang terbata-bata dan kosakata yang sederhana saja, serta sesekali body language. Dalam keterangan daftar staf di website rumah sakit Aiiku, Inoue sensei memang pernah bertugas di luar Jepang, kalau tidak salah ingat memang English-speaking country.
Isian form untuk mendaftar menjadi anggota (pasien) ternyata cukup menyita waktu. Selain dalam tulisan Jepang, memang isiannya cukup detail. Karena keterbatasan bahasa Jepang saya, saya dipersilakan untuk mengembalikan form pada kunjugan selanjutnya.
Sebelum pemeriksaan pertama, salah satu senpai-tachi (Mbak RMSD) sudah mengingatkan untuk tidak surprised dengan metode pemeriksaan kehamilan di Jepang. Notabene, dalam pemeriksaan awal kehamilan untuk beberapa kali kunjungan pemeriksaan, pemeriksaan memakai metode pelvic examination atau vaginal examination dan menggunakan transvaginal ultrasound. Sehingga sebelumnya saya cukup aware untuk mengedukasi diri dengan metode pemeriksaan ini.
Pemeriksaan pertama (kehamilan minggu ke-8) dilalui dengan pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan, tes urin, dan pemeriksaan ultrasound.
Prosedurnya, datang ke rumah sakit menuju resepsionis. Pada staf resepsionis, saya menginformasikan tujuan cek kehamilan, kemudian administrasi. Saya sempat ditanya tentang alergi yang dimiliki, namun saya jawab tidak ada. Setelah itu, saya diarahkan ke toilet untuk mengawali tes urin. Berikutnya, saya mengukur tekanan darah dan berat badan di lokasi yang sudah diinformasikan sebelumnya. Ini self service-mengukur sendiri dan tidak diberi asistensi. Hasil pengukuran tekanan darah dan berat badan dibawa sambil menunggu panggilan giliran pemeriksaan untuk nantinya diberikan pada perawat yang mendampingi pemeriksaan dengan dokter.
Pertama kali bertemu Inoue sensei, seingat saya Inoue sensei menanyakan saya berasal dari mana. Perlu saya informasikan bahwa sebelumnya saya tidak tahu bahwa rumah sakit ini sudah menjadi langganan muslimah juga.
Pada pemeriksaan pertama inilah Inoue sensei semakin meyakinkan kami tentang kehamilan saya karena sebelumnya hanya mencoba sekali memakai test pack kehamilan. Total 1 jam dari resepsionis sampai selesai pemeriksaan (waktu tunggu dokter juga yang berkontribusi sebentar dan lamanya).
Bersambung..
Pilihan kata kamus singkat dari KBBI:
Tawakal bukan tawakkal
Nikah bukan nikakh
Walimah bukan walimat
Izin bukan ijin